Perbankan Syariah
Bank
Syariah kok Berjalan Di Luar Rel
Syariah !!
Oleh
M. Azwar Mahrami *
Sudah menjadi paradigma umum
dalam masyarakat Indonesia yang baru mengecap layanan bank syariah menyatakan bahwa
bank syariah sama saja dengan bank konvensional. Paradigma yang sempit ini
tersimpan dalam memori mereka, apa penyebabnya? Usut punya usut, ternyata ada kisah
tentang sebagian kecil masyarakat yang telah memanfaatkan pembiayaan di bank
syariah, mereka protes atas kebijakan manajemen suatu bank syariah yang jumlah
angsuran dan tempo yang harus mereka bayar ternyata sama nominalnya (angsuran)
maupun temponya (jangka waktu) dengan jumlah nominal dan tempo yang mereka dapatkan sewaktu
menjadi nasabah kredit di bank konvensional.
Hal lainnya yang tidak bisa
disangkal lagi, dan merupakan rahasia dapur bank syariah adalah dalam upaya memperoleh
laba, bank syariah menerapkan tingkat suku bunga sebagai acuan dalam perolehan
profit pada akad murabahah.
Terkadang, manajemen bank syariah berkilah dengan alasan untuk bersaing dengan
bank konvensional dari segi pendapatan. Metode perolehan laba berdasarkan
tingkat suku bunga ini ternyata yang dipakai dalam penetapan jumlah margin (laba/keuntungan) dalam akad murabahah yang notabenenya harus bebas
dari intervensi suku bunga.
Mencermati fenomena
pembiayaan murabahah yang terjadi di
bank syariah pada saat ini, terkesan stigma bahwa praktisi perbankan syariah terkesan
jauh dari harapan dan cita-cita Al-Qur’an. Tentu, tidak semua bank syariah
menerapkan pembiayaan murabahah yang
seperti tadi. Ada beberapa bank syariah bahkan koperasi syariah dan BMT yang
menerapkan akad murabahah murni.
Tidak terpengaruh oleh tingkat suku bunga, akan tetapi mampu menghasilkan
keberkahan dalam bisnis dan transaki keuangan, dan tentu terhindar dari inflasi
yang menghantui. Dikatakan murni, karena memang mekanisme dan operasional yang
mereka terapkan berdasarkan aturan jual beli. Hal ini berarti, semestinya
sektor riil-lah yang menentukan tingkat perolehan laba yang terjadi melalui
mekanisme pasar yang alami tanpa terpengaruh oleh tingkat suku bunga.
Untuk mengurai persolan
pembiayaan murabahah ini, penulis
memulai dari konsep laba (profit) yang adil. Dalam bisnis sektor riil, laba
diperoleh dari jumlah harga jual yang lebih tinggi dari jumlah harga beli
melalui proses tawar menawar. Lain halnya dengan sektor non riil (bank) sebagai
perantara antara unit surplus dan minus dana, yang mengatur keuangan untuk
tujuan tertentu dalam jangka tertentu melalui mekanisme tertentu, laba
diciptakan dari jasa atas usaha meminjamkan dana yang nilainya cenderung
berfluktuatif tergantung berbagai faktor yang menyertai di pasar uang dan pasar
modal serta regulasi pemerintah dan target pendapatan di masa mendatang.
Sedangkan dari kaca mata Islam,
konsep ekonomi syariah bersumber pada proses jual beli (al-bai) yang juga menginspirasi konsep perbankan syariah secara
umum. Pembahasan ini tentu rumit jika kita tidak mencari benang merah dan mengurai
satu demi satu pondasi ilmu ekonomi islami yang mendasarinya.
Teori
Harga Dan Laba Yang Adil.
Ibnu Taymiyah (661-728H/1263-1328M)
dalam membahas persoalan yang berkaitan dengan harga, beliau sering menggunakn
istilah kompensasi yang setara (iwadh
al-mitsl) dan harga yang setara (tsaman
al-mitsl). Beliau mengatakan dalam majmu
fatawa bahwa :”kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal
yang setara, dan inilah esensi keadilan (nafs
al-‘adl)”
Bagian penting dari
penentuan harga yang adil adalah laba yang adil. Karena biasanya dalam praktek
bisnis, biaya (cost) yang dibebankan
atas harga produk relatif bisa dikalkulasi secara lebih pasti. Sedangkan porsi
keuntungan (provit), dasar penentuannya
tidak terstandarisasi.
Untuk itu, kita tidak perlu
melihat bagaimana perspketif islam terait hal ini. Laba yang adil meminjam
teori profit Ibnu Al-Arabi dapat dijelaskan sebagai “kelebihan yang dapat
dibenarkan oleh nilai yang setara (iwadh)”.
Dan apabila laba yang diambil tersebut melebihi iwadh (equivalent counter
value) maka bisa masuk kategori riba
al-fadl kerena mengandung eksploitasi kepada pembeli.
Lebih lanjut dapat
dijelaskan bahwa iwadh adalah padanan
nilai yang dibenarkan syariat atas penambahan (keuntungan) dalam sebuah
transaksi. Dengan demikian seseorang boleh mengambil keuntungan dalam transaksi
bisnis setara dengan nilai yang dikeluarkannya.
Menurut salah satu pakar
ekonomi islam dari International Islamic University (IUU) Malaysia, Prof Dr
Azhar Rosly, komponen iwadh yang
dapat membenarkan seseorang untuk mengambil keuntungan adalah setara dengan
nilai ketika seseorang menanggung resiko (ghurmi/risk),
setara dengan nilai berusaha atau bekerja (ikhtiyar/effort)
dan setara dengan tanggung jawab yang diemban (dhaman/liability), sehingga pembebanan tambahan atau keuntungan
atas sebuah transaksi bisnis haruslah wajar dan setara mempertimbangkan tiga
hal tersebut.
Senada dengan hal itu, Ibnu
Taymiyah menjelaskan bahwa para pedagang berhak memperoleh keuntungan melalui
cara-cara yang dapat diterima secara umum (al-ribh
al-ma’arif) tanpa merusak kepentingan dirinya dan kepentingan para
pelanggannya.
Beliau mendefinisikan laba
yang adil sebagai laba normal yang secara umum diperoleh dari jenis perdagangan
tertentu tanpa merugikan orang lain. Beliau menentang tingkat keuntungan yang
tak lazim, bersifat eksploitastif (ghaban
fahisy) dengan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat terhadap kondisi pasar
(mustarsil).
Riba,
Sang Penghancur Ekonomi Rakyat
Apa jadinya jika suatu
konsep ekonomi yang telah dengan susah payah digali oleh ekonom muslim dari
sumber Al-Qur’an dan Hadist ternyata tidak sepenuhnya diterapkan oleh praktisi
perbankan syariah hanya gara-gara terbentur kendala minimnya laba dan
persaingan bisnis perbankan konvensional. Inillah fakta lapangan yang terjadi
dengan perbankan syariah yang sedang digiatkan saat ini.
Perbankan syariah tercipta
dari kegerahan atas sistem ekonomi kapitalis dan liberalis yang tidak mampu
menjawab tantangan zaman saat ini karena berpotensi menimbulkan dampak sosial
ekonomi yang berbahaya. Salah satu akibat dari kebobrokan sistem kapitalisme
adalah terjadinya inflasi tahun 1998 yang lalu sehingga berdampak pada
perekomian Indonesia yang terpuruk.
Dalam sistem ekonomi
kapitalis, bunga bank (interest rate)
adalah jantung ekonomi. Hampir tidak ada sisi perekomian yang luput mekanisme
kredit bunga bank (credit system)
mulai dari transaksi lokal pada semua struktur ekonomi negara, hingga perdagangan
internasional. Ketika riba telah menjadi sistem yang mapan dan telah
mengkristal, maka akan berdampak buruk dan membahayakan.
Pertama, telah menimbulkan
krisis ekonomi dimana-mana terutama sejak tahun 1930 sampai saat ini. Juga
membuka peluang para spekulan untujk melahirkan volatilitas (fluktuasi) ekonomi
banyak negara. Sistem ekonomi ribawi
menyebabkan labilnya nilai mata uang (currency).
Uang senantiasa berpindah dari negara yang tingkat bunga riilnya rendah ke
negara dengan tingkat suku bunga yang tinggi. Hal ini terjadi karena spekulan
ingin mendapatkan keuntungan yang tinggi di negara tersebut. Usaha semacam ini
dikenal dengan istilah arbitraging.
Kedua, mengokohkan
kesenjangan ekonomi. Yang memiliki potensi dan kesempatan akan makin kaya
sebaliknya mereka yang tidak memiliki potensi dan kesempatan akan makin miskin.
Ketiga, suku bunga
berpengaruh terhadap investasi, produksi dan pengangguran. Makin tinggi tingkat
suku bunga, maka investasi semakin menurun, kemudian disusul dengan produksi
yang menurun akibatnya angka pengangguran meningkat dan kemiskinan menjerat.
Keempat, teori ekonomi makro
mengajarkan bahwa suku bunga akan signifikan menimbulkan inflasi.
Kelima, menjeruskan negara
berkembang dan negara dunia ketiga menjadi negara penghutang dan terjebak dalam
jebakan hutang (debt trap).
Kelima hal ini mudah-mudahan
menjadikan para praktisi ekonomi syariah segera tersadar dan kembali ke jalan Allah
SWT dengan menghapus kebijakan acuan tingkat suku bunga pada produk pembiayaan
mereka. Karena, ketika kita menyadari bahwa riba adalah suatu tambahan atas
barang tertentu yang sama jenis dan kadarnya maka kita akan mengetahui bahwa
bunga bank adalah identik 100 % dengan riba. Hal ini berarti, menjadikan tingkat
suku bunga sebagai acuan dalam upaya perolehan margin di bank syariah dapat
tergolong menjadi haram secara mutlak.
Murabahan Murni
Telah disinggung di tulisan
diatas tentang konsep penentuan laba dan bahaya riba (bunga bank), lalu
bagaimana konsep yang benar tentang skema penyaluran pembiayaan yang menghasilkan
keberkahan, ketenangan, dan menguntungkan secara terus menerus. Tulisan ini,
berupaya merumuskan kembali konsep murabahah
yang telah ditinggalkan oleh banyak praktisi.
Konsep produk perbankan
syariah berasal dari skema jual beli. Oleh karena itu, hampir semua produk
perbankan syariah berfotosistesis dari konsep jual beli ini. Suatu konsep yang
menitiberatkan kepada keadilan, kesederhanaan dalam mengkonsumsi, keterbukaan
informasi perdagangan, menghindari penipuan dan pemborosan, dan menggiatkan segala
hal yang positif dalam menunjang transaksi yang saling ridha sehingga tercipta
keberkahan di dalamnya.
Atas
dasar pemikiran ini, terlahirah konsep pembiayaan murabahan. Murabahah adalah
adalah transaksi jual beli suatu barang sebesar harga
perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati olah para pihak, dimana
penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli. Dari definisi ini, terlahirlah konsep pembiayaan. Bank
sebagai kreditur menyalurkan pembiayaan (kredit) kepada debitur (nasabah)
berdasarkan jumlah nomial harga barang dan ditambah dengan keuntungan
(laba/margin). Terkadang, dalam penetapan jumlah keselurahan harga total
pembelian dan keuntungan disesuaikan dengan tingkat suku bunga (seperti paragraf
awal) sehingga jumlah setoran akan sama nominalnya dengan bank konvensional
dengan tempo (jangka waktu) yang sama. Hal inilah yang dinyatakan sebagai murabahah oleh banyak bank syariah
sehingga membuat paradigma yang keliru tentang bank syariah.
Kami menyertakan contoh murabahah murni yang dapat menjadi acuan bank syariah dalam
mengambil keputusan penetapan laba / margin pada pembiayan berakad murabahah.
Pak dhe seorang nasabah yang ingin membeli cabai dan
bumbu lainnya untuk dijual kembali, untuk itu pak dhe mengajukan pembiayan di
bank syariah dengan total pinjaman Rp.1.000.000,-. Oleh bank syariah, cabai dan bumbu telah dibelikan di langganan
pak dhe di pasar induk dengan harga Rp.1.000.000,-. Setelah barang dibeli,
kemudian bank syariah menetapkan harga jual yang pantas untuk pak dhe. Dan disepakatilah
keuntungan bank syariah sebesar Rp360.000,-. Sehingga jumlah hutang pak dhe
adalah Rp.1.360.000,-, jumlah nominal inilah yang akan dilunasi oleh pak dhe
dengan tempo 1 tahun dengan cara pembayaran cicilan pada setiap bulanannya (Rp.113.333,-
dan dapat dibulatkan menjadi Rp.113.500).
Landasan keputusan managemen bank syariah dalam
menetapkan harga jual bersumber pada data sebagai berikut :
1. Harga beli cabe 50 kg : Rp. 500.000,- (@ Rp.10.000/kg)
2. Harga beli bumbu 50 Kg : Rp.500.000 (@ Rp.10.000/kg)
3. Harga jual yang digunakan pak dhe di konsumennya
Rp.11.500/kg untuk semua barang yang dibeli (laba Rp.1.500,- / kg) sehingga
jumlah total laba pak dhe = Rp.1.500 x 100 kg adalah Rp.150.000
4. Masa perkiraan barang habis (sejak tanggal pembelian)
adalah 7 hari sedangkan tempo pembiayaan adalah 1 tahun (12 bulan) sehingga
potensi perputaran modal di usaha pak dhe adalah sebesar 84 kali ( 7 hari x 12
bulan) karena pak dhe akan berbelanja kembali setelah barang dagangannya habis
yakni 7 hari sekali. Jika dikalkulasi kasar, jumlah laba pak dhe dari modal
Rp.1.000.000 tadi adalah Rp.150.000 x 84 kali =Rp.12.600.000,-
5. Pak dhe mengeluarkan ongkos transportasi setiap kali ke
pasar induk sebesar Rp.20.000,- (PP) sehingga dalam setahun menjadi Rp.20.000 x
84 kali adalah Rp.1.680.000,-.
6. Karena cabe dan bumbu rentan busuk dalam jangka waktu
tertentu, maka diperkiraan biaya penyusutan barang adalah 2% dari harga barang
yaitu Rp.1.000.000 x 2% menjadi Rp.20.000. jika dikalkulasi setahun menjadi
Rp.20.000 x 84 kali sehingga menjadi Rp.1.680.000,-.
Dari perhitungan sederhana diatas maka disimpulkan bahwa
:
1. Total keuntungan/laba yakni Rp.150.000 dibagi dua antara
pihak bank syariah dan pak dhe dengan perbandingan 20:80 ( bank syariah
mendapatkan Rp.30.000,- dan pak dhe mendapatkan Rp.120.000).
2. Potensi laba pak dhe dengan modal Rp.1.000.000,- tadi
adalah Rp.12.600.000 dikurangi biaya transportasi Rp.1.680.000,- dan dikurangi
biaya penyusutan barang Rp.1.680.000,- sehingga total potensi laba pak dhe
selama setahun adalah Rp.9.240.000,-. Hal ini berarti ada potensi laba
hingga 900% jika usaha berjalan dengan sewajarnya tanpa ada halangan yang berarti
termasuk resesi ekonomi dan inflasi maupun deflasi serta faktor internal dari
pak dhe (keluarga, pribadi, tetangga) dan usaha/ bisnis yang dijalankannya.
3. Pembagian laba disepakati Rp.30.000,- per bulan untuk
bank syariah. Jika setahun maka 12 x Rp.30.000,- adalah Rp.360.000,-
Perlu diketahui bahwa :
1.
Bank perlu membutuhkan marketing yang
menguasai tentang seluk beluk perbankan syariah dan mengerti tentang realitas
di lapangan (nasabah, keadaaan pasar, dll) sehingga target pendapatan bisa
diukur tanpa ada risiko gagal bayar (default)
yang berarti.
2.
Bank syariah juga dapat mempergunakan petugas
analis pembiayaan yang menguasai tehnik dasar analis pembiayaan dan mengerti
berbagai variabel yang berhubungan erat dengan sukses atau gagalnya suatu
transaksi pembiayaan. Hal ini untuk meminimalisir risiko pembiayaan bermasalah
di kemudian hari.
3.
Tidak ada penalty apapun jika gagal bayar.
Oleh karena itu, proses analisis pembiayaan di bank syariah menjadi lebih
cermat 2 kali lipat dibandingkan dengan proses analisis kredit konvensional.
4.
Tidak ada penambahan jumlah angsuran. Berbeda
dengan kredit konvensional yang dapat berubah-ubah sewaktu-waktu sesuai
kebijakan tingkat suku bunga yang berlaku.
5.
Jika dibandingkan dengan tingkat suku bunga tertinggi
saat ini (2,5%/bln) maka pendapatan laba dengan metode murabahah murni ini jauh lebih untung dan berkah karena berdasarkan
perhitungan yang mudah dan analisis yang transparan.
6.
Bank syariah tidak diperkenankan lagi
menerapkan 2 akad dalam satu perjanjian (walaupun fatwa MUI telah membolehkannya),
misalnya akad wakalah (perwakilan)
plus murabahah, karena berpotensi
mengaburkan akad yang sesungguhnya (jual-beli) dalam konsep murabahah. Agar tidak bertentangan
dengan UU perbankan yang tidak memperbolehkan bank dalam menyimpan barang produksi
dan hanya sebagai lembaga perantara (intermediate),
bank syariah bersama dengan nasabahnya bersama-sama ke pihak penjual untuk
membeli barang yang dibutuhkan nasabah, sehingga transaksi perdagangan diketahui
bersama dalam satu majlis (pasar).
Memang tidak praktis, tapi hal ini, jika diterapkan, akan berdampak keberkahan
transaksi keuangan dan bisnis, yang berakibat pada ketenangan hati, dan
mempermudah penyelesaian sengketa jika terjadi di masa mendatang.
7.
Metode perhitungan ini sudah diterapkan di
BMT Mitragama Multi Syariah Mataram.
(*Pendiri BMT Mitragama Multi
Syariah dan Situs Iqrapedia, Mahasiswa IAIN Mataram dan Blogger)
sy pernah menyampaikan hal ini ke manajemen BNI Syariah mataram....tp sayangnya tidak pernah ditanggapi...
BalasHapusIni soal ujian saya, yang ngasih soal dosen s3.
BalasHapus